Lontarkan Pertanyaan ke BEM Nusantara, LaNyalla: Kerusakan Negeri Kita Benahi atau Biarkan?
JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyampaikan orasi politik secara virtual pada Seminar Nasional Pra Temu BEM Nusantara ke-XIII di Universitas Negeri Gorontalo, Selasa (14/12/2021).
Pada kesempatan itu, LaNyalla melontarkan pertanyaan kepada para mahasiswa peserta seminar yang hadir di lokasi. Pertanyaan itu berkaitan dengan sistem tata negara yang menurutnya menjadi penyebab beberapa persoalan fundamental.
“Jika kita kembali kepada topik Seminar Nasional hari ini, yaitu DPD RI Diperkuat atau Dibubarkan? Maka saya juga akan mengajukan pertanyaan kepada Anda sekalian. Apakah kerusakan di negeri ini harus kita benahi atau tidak?” tanya LaNyalla.
Menurutnya, pertanyaan itu penting untuk dijawab, sebab hukum alam akan memangsa mereka yang berbuat kerusakan di muka bumi. LaNyalla menambahkan, alam tidak mengenal siapa yang melubangi kapal, tetapi semua penumpang kapal akan tenggelam.
LaNyalla mengajak para mahasiswa flashback ke belakang. Katanya, negara ini merdeka atas kerja sama kaum pergerakan kemerdekaan, yang terdiri dari kelompok cendekiawan, ulama dan tokoh agama, militer dan para pemangku adat, baik raja maupun sultan Nusantara serta aktivis pergerakan lainnya.
Ia melanjutkan, bila ditarik mundur ke belakang, spirit sebagai sebuah bangsa yang berdaulat telah ada dari masa lahirnya Budi Oetomo dan momentum Sumpah Pemuda.
Bila ditarik lebih jauh ke belakang lagi, spirit sebagai sebuah bangsa yang berdaulat sebenarnya sudah ada di era kerajaan dan kesultanan Nusantara.
“Hal ini dibuktikan dengan catatan sejarah adanya perlawanan di beberapa penjuru Nusantara terhadap VOC dan penjajah Belanda oleh raja dan sultan Nusantara,” papar LaNyalla.
Menurut LaNyalla, mereka semua merelakan dan menundukkan diri bersama demi kedaulatan sebuah negara yang merdeka, yaitu Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
“Itulah pikiran negarawan sejati, berpikir dengan luhur untuk sesuatu yang besar, untuk sesuatu jariyah akhirat setelah kehidupan di dunia ini,” terangnya.
Para pendiri bangsa yang bersidang di BPUPKI maupun PPKI, menurut LaNyalla, merumuskan konstitusi yang dikenal dengan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli, di mana mereka bersepakat memutuskan bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka, sistem politik Indonesia diputuskan menganut sistem demokrasi Pancasila, sistem demokrasi asli milik Indonesia yang sesuai dengan DNA Indonesia dan dilengkapi konstitusi yang bernama Undang-Undang Dasar 1945.
“Demokrasi Pancasila sama sekali berbeda dengan demokrasi liberal di Barat dan Komunisme di Timur. Demokrasi Pancasila mensyaratkan adanya permusyawaratan perwakilan adalah jalan tengah yang lahir dari akal fitrah manusia sebagai mahluk yang berfikir dengan keadilan,” ujarnya.
Oleh karena itu, ciri utama dari demokrasi Pancasila adalah semua elemen bangsa ini, yang berbeda-beda, harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini.
Dijelaskan LaNyalla, Itulah mengapa pada konstitusi kita yang asli, sebelum dilakukan amandemen pada tahun 2002, MPR adalah Lembaga Tertinggi Negara.
“Karena MPR adalah perwujudan kedaulatan rakyat dari semua elemen bangsa ini, baik itu elemen partai politik, elemen daerah-daerah dan elemen golongan-golongan,” papar dia.
Dikatakannya, Utusan Daerah adalah representasi seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke. Karena memang harus ada wakil-wakil dari daerah, meskipun daerah tersebut terpencil, terisolasi secara sosial-kultural.
Harus pula ada wakil dari golongan-golongan, seperti etnis tertentu sebagai unsur kebhinnekaan, badan-badan kolektif, koperasi, petani, nelayan, veteran, para raja dan sultan Nusantara, ulama dan rohaniawan, cendekiawan, guru, seniman dan budayawan, maha putra bangsa, penyandang cacat dan seterusnya.
“Itulah prinsip Syuro dalam sistem tata negara kita yang asli atau dapat kita sebut sebagai DNA asli bangsa Indonesia. Dan prinsip Syuro ini diadopsi dari sistem Islam. Apakah naskah asli Undang-Undang Dasar 1945 memiliki kelemahan sehingga perlu disempurnakan? Jawabnya ya, pasti,” ujar LaNyalla.
Oleh karena itu, LaNyalla menjabarkan bahwa para pendiri bangsa saat itu telah memberi ruang untuk dilakukan penyempurnaan melalui pasal 37 UUD 1945. “Tentu penyempurnaan terhadap Konstitusi sebuah negara, secara norma hukum, harus dilakukan dengan adendum, tanpa mengubah pilihan sistem tata negara tersebut. Oleh karena itu, Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak boleh diubah,” urai LaNyalla.
Sehingga, adendum terhadap pasal dan ayat di dalam batang tubuh harus tetap derifatif atau mengacu kepada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut.
Tetapi Amandemen Konstitusi tahun 1999 hingga 2002, mengubah total sistem tata negara Indonesia.
“MPR tidak lagi menjadi Lembaga Tertinggi Negara. Utusan Daerah dan Utusan Golongan dihapus digantikan Dewan Perwakilan Daerah. Lalu Presiden dan Wakil Presiden dicalonkan oleh partai politik dan dipilih langsung oleh rakyat,” ujarnya.
Sehingga, mandat rakyat diberikan kepada dua ruang politik yitu kepada parlemen dan kepada presiden. Masing-masing bertanggung jawab langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilu 5 tahunan.
“Amandemen tersebut jelas telah melanggar prinsip addendum, karena dilakukan secara besar-besaran dalam kurun waktu dari tahun 1999 hingga 2002. Padahal addendum jelas artinya, yaitu; tidak boleh mengurangi atau merubah ‘basic structure'” katanya.
Akibatnya, LaNyalla menegaskan, terjadi kecekatan konstitusi. Dan dapat kita lihat pada keberadaan DPD RI, di mana lembaga ini didalilkan sebagai perubahan dan penyempurnaan wujud dari Utusan Daerah dan Utusan Golongan, nyatanya justru kehilangan hak dasar sebagai pemegang kedaulatan rakyat.
“Padahal, anggota DPD RI dipilih melalui pemilihan langsung, sama-sama berkeringat dengan partai politik,” terangnya.
Sejak amandemen saat itu, LaNyalla menilai wajah dan arah bangsa ini hanya ditentukan oleh partai politik, karena partai politik menjadi satu-satunya instrumen untuk mengusung calon pemimpin bangsa ini. “Dan, hanya partai politik melalui fraksi di DPR RI yang memutuskan Undang-Undang yang mengikat seluruh warga negara,” ujarnya.
Sementara DPD RI sebagai wakil daerah, wakil dari golongan-golongan, wakil dari entitas-entitas civil society yang non-partisan, tidak bisa ikut menentukan wajah dan arah perjalanan bangsa ini.
“Padahal, sumbangsih entitas civil society non-partisan terhadap lahirnya bangsa dan negara ini tidaklah kecil. Tetapi mereka terpinggirkan dan semua simpul penentu perjalanan bangsa ini direduksi hanya di tangan partai politik, tanpa second opinion dan tanpa reserve,” beber LaNyalla.
Menurut LaNyalla, kecekatan hukum dan konstitusi inilah yang harus diperbaiki. Padahal, bangsa ini adalah bangsa yang besar, yang sudah seharusnya memiliki kesadaran yang besar atas sejarah kelahirannya, sehingga menjadi peta jalan dalam menatap masa depan.
“Sekali lagi, penguatan peran dan fungsi DPD RI bukanlah sesuatu yang mengada-ada, tetapi sebuah amanat sejarah dan amanat bangsa bahwa bangsa ini sudah seharusnya dan mutlak memiliki ruang-ruang non-partisan yang berhak untuk ikut serta menentukan arah wajah dan perjalanan bangsa ini ke depan,” paparnya.
Apalagi jika kita berkaca kepada hasil survei Akar Rumput Strategis Consulting (ARSC) yang dirilis pada 22 Mei 2021 yang lalu, di mana hasilnya ditemukan bahwa 71,49 persen responden ingin calon presiden tidak harus kader partai dan hanya 28,51 persen saja yang menginginkan calon presiden dari kader partai.
“Seharusnya DPD RI bisa menjadi saluran atas harapan 71,49 persen responden dari hasil survei ARSC yang menginginkan calon presiden tidak harus kader partai. Tetapi justru sebaliknya, partai politik bersepakat membuat Undang-Undang yang memberi ambang batas parlemen atau parlementary threshold dan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold,” jabar LaNyalla.
Dengan begitu, LaNyalla menilai lengkap sudah dominasi dan hegemoni partai politik untuk memasung Vox Populi dengan cara memaksa suara rakyat terhadap pilihan terbatas calon pemimpin bangsa yang mereka tentukan.
“Akibatnya, terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat yang masih kita rasakan hingga hari ini, karena dari dua kali Pilpres mereka hanya menyajikan dua pasang calon yang berhadap-hadapan,” terang LaNyalla.(*)