Ketua DPD RI Sebut Reformasi Politik Penyebab Indonesia Jadi Negara Berpenghasilan Menengah
JAKARTA – Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menyebut sebuah kelakar beredar di tengah-tengah masyarakat. Yaitu, wajah dan perjalanan legislasi nasional bangsa ini hanya ditentukan oleh sembilan orang ketua umum partai politik yang memiliki kursi di Senayan.
Menurut LaNyalla, kelakar bukannya tidak beralasan.
“Faktanya, sejak amandemen konstitusi tahun 1999 hingga 2002, partai politik mendapat ruang politik yang sangat besar dan kuat dalam menentukan arah
perjalanan bangsa ini,” kata LaNyalla saat menjadi pembicara utama pada acara Seminar Legislasi Nasional yang diselenggarakan Senat Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Kamis (25/11/2021).
Senator asal Jawa Timur itu memaparkan argumentasi atas pernyataannya tersebut. Katanya, berdasarkan hasil amandemen konstitusi pada tahun 1999-2002, hanya partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres.
Hanya partai politik juga melalui fraksi di DPR RI yang berhak memutuskan Undang-Undang yang isinya mengikat seluruh warga bangsa.
“Jika semua lembaga dan institusi didesak untuk melakukan reformasi, maka seharusnya partai politik di Indonesia juga wajib didesak untuk melakukan reformasi. Sebab, hampir semua prasyarat partai politik modern tidak tercermin di dalam partai politik di Indonesia,” kata LaNyalla melalui channel zoom dari Jakarta.
Sebab bila tidak, maka salah satu penyebab Indonesia tak kunjung keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah, meskipun memiliki Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah adalah karena reformasi partai politik yang tak kunjung sesuai harapan.
LaNyalla menjabarkan jauh ke belakang. Indonesia pasca Orde Baru mengalami perubahan dalam penerapan sistem politik. Disebutkan bahwa Indonesia memasuki sistem politik yang lebih demokratis.
Salah satunya, ditandai dengan jaminan kebebasan berekspresi dan berasosiasi untuk mendirikan dan atau membentuk partai politik.
Di era reformasi, setiap kelompok atau golongan bebas membentuk dan mendirikan parpol serta tidak ada pembatasan jumlah partai politik. Pada awal reformasi, jumlah parpol yang didirikan mencapai 184 partai.
Sebanyak 141 partai di antaranya memperoleh pengesahan sebagai badan hukum. Dari jumlah tersebut, yang memenuhi syarat untuk ikut Pemilu tahun 1999 hanya 48 parpol.
Menghadapi Pemilu 2004, jumlah parpol yang dibentuk semakin banyak. Ada sekitar lebih dari 200 parpol yang berdiri. Dari jumlah parpol sebanyak itu hanya 50 parpol yang memperoleh pengesahan sebagai badan hukum dan hanya 24 parpol yang ikut Pemilu 2004.
Pada Pemilu 2009, jumlah parpol yang dibentuk sekitar 132 partai dan sekitar 22 partai politik lolos verifikasi, sehingga dapat ikut pemilu ditambah dengan 16 partai poitik, yang terdiri atas 7 partai politik yang lolos Electoral Threshold 3 persen dan 9 partai politik yang mendapat kursi di DPR.
Jumlah partai politik peserta Pemilu 2009 semuanya menjadi 38 partai di tingkat nasional dan 6 partai lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.
“Persoalan yang ingin saya sampaikan dalam Seminar Legislatif Nasional hari ini adalah apakah partai politik yang ada sekarang, baik yang sudah eksisting maupun yang baru dibentuk, dan akan selalu ada yang dibentuk lagi, sudah menjalankan fungsi ideal sebagai partai politik?” tanya LaNyalla.
Sebab, sejumlah pakar mengatakan, keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi yang memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat, serta melakukan pendidikan politik dan penyelesaian konflik, faktanya belum dijalankan dengan maksimal.
Berbagai survei menyebutkan, publik kecewa dan tidak puas terhadap eksistensi partai politik, terutama karena dianggap tidak memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Sebaliknya, mereka lebih memperjuangkan kepentingan partai dan kelompoknya.
“Mengapa ini terjadi? Hal itu karena partai-partai politik belum mampu memainkan dan menjalankan fungsi-fungsi yang dimiliki dengan optimal. Partai-partai politik tidak memiliki kemampuan dalam mengerahkan dan mewakili kepentingan warga negara maupun dalam menghubungkan warga negara dengan pemerintahan,” papar LaNyalla.
Kondisi seperti itu ditambah pula dengan persoalan kelembagaan partai yang belum terwujud dengan baik, yaitu kekokohan partai politik sebagai bagian dari alat perjuangan masyarakat.
Untuk itu diperlukan dua syarat. Pertama, memastikan rakyat memiliki saluran partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga tidak terjadi parlemen jalanan atau kekuatan pressure group.
Kedua, mampu secara tepat menyalurkan partisipasi masyarakat melalui sistem politik yang dijalankan partai.
“Agar partai politik bisa mewujudkan itu, diperlukan lima syarat. Pertama, stabilitas dalam kompetisi antarpartai. Dalam suatu sistem yang terlembaga, partai politik memegang peran utama dalam pemerintahan dan posisi partai politik tersebut telah stabil,” ucap LaNyalla.
Kedua, akar partai di masyarakat. Partai politik yang melembaga akan berakar kuat di masyarakat, dengan rata-rata masyarakat memilih partai yang sama dan memilih karena partai tersebut.
Oleh karena partai politik telah mengakar kuat, maka berbagai kelompok kepentingan pun cenderung berasosiasi dengan partai politik. Ketiga, legitimasi partai politik dan pemilu. Karena melalui pemilu
yang legitimate partai politik dianggap sebagai institusi demokrasi yang
penting dan dibutuhkan. Keempat, sumber daya partai politik telah mencukupi, baik secara materi maupun sumber daya manusianya.
Kepemimpinan partai tidak dibayangi oleh kepentingan pemimpin secara individu dan proses kelembagaan berlangsung dengan baik. Terakhir, demokrasi internal di tubuh partai serta platform ideologi partai yang jelas.
“Terus terang, fakta yang terjadi di dalam internal partai politik di Indonesia lebih banyak terjebak dalam bentuk oligarki dalam proses pengambilan keputusan strategis. Kecenderungan selama ini menunjukkan pengambilan keputusan
partai politik bersifat tertutup dan hanya ditentukan oleh sekelompok kecil elit partai,” ulas LaNyalla.
Keputusan tertinggi biasanya berada pada seseorang atau sekelompok kecil elit partai saja. Persoalan mekanisme internal dalam pembuatan keputusan dicirikan dengan sentralisasi dalam pengambilan keputusan.
Peran pengurus pusat masih dominan dan terkadang berbeda dengan aspirasi daerah, terutama terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi partai, seperti fungsi rekrutmen politik, komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, serta fungsi penyelesaian konflik internal.
“Bukan rahasia lagi bila para anggota DPR harus belok kanan atau belok kiri berdasarkan perintah fraksi yang merupakan kepanjangan tangan partai politik, di mana keputusan itu lebih banyak ditentukan ketua umum atau elit pengurus di tingkat pusat. Ini yang terjadi, sehingga publik merasa tidak punya harapan yang kuat kepada para Legislator di Gedung DPR RI,” tegas LaNyalla.
LaNyalla ingin kita semua belajar dari kasus Korea Selatan dan Korea Utara. Dari sisi geografis, dua negara itu banyak memiliki kesamaan. SDA yang dimiliki pun tidak jauh berbeda.
“Perbedaan yang mencolok di antara dua negara itu adalah kesejahteraan rakyatnya,” tutur LaNyalla.
Korsel merupakan salah satu negara maju dan kaya raya, sementara Korut adalah negara miskin.
Rakyatnya masih membutuhkan
bantuan internasional untuk mendapatkan makanan.
“Perbedaan dalam hal kemakmuran itu terjadi karena institusi politik dan ekonomi di Korsel jauh lebih baik dibandingkan Korut. Korsel tak hanya menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis, tetapi juga sistem demokrasi secara substansial, bukan prosedural,” ujarnya.
Kebebasan dan penegakan hukum berjalan seimbang, sehingga institusi politik dan ekonomi dibangun untuk menyejahterakan rakyat. Sementara di Korut, institusi politik dan ekonomi dikuasai sepenuhnya oleh segelintir penguasa atau oligarki. Mereka bekerja untuk kepentingan pribadi dan golongan, bukan untuk rakyat.
Indonesia, kata LaNyalla, perlu berkaca dari Korsel dan negara-negara demokrasi lain yang membangun institusi politik dan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan.
“Karena persoalan ekonomi yang bermuara pada kesejahteraan memang masih menjadi tantangan dan pekerjaan besar Indonesia setelah 20 tahun reformasi. Nyatanya, sampai saat ini cita-cita itu ibarat jauh panggang dari api,” tutup LaNyalla.(***)